Kebebasan berekspresi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Setiap warga negara memiliki kebebasan berekspresi yang sama, walau mungkin digunakan dengan cara yang berbeda. Saya menulis tentang opini saya; Anda mungkin melukis, atau bernyanyi, atau berdemonstrasi di depan istana menuntut pemerintah untuk menghormati hak asasi tiap-tiap warganya. Bagaimanapun, tindakan-tindakan tersebut adalah cara masing-masing dari kita untuk mempraktikkan kebebasan berekspresi yang sama. Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK sepertinya tak mampu, atau mungkin tak mau, untuk membiarkan warga-warganya menikmati kebebasan tersebut tanpa gangguan. Mulai dari UU ITE, RUU Permusikan, hingga—fokus utama tulisan ini—penyitaan buku-buku berhaluan kiri.
Buku-buku yang disita tersebut adalah buku-buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme atau mempromosikan PKI. Munculnya kembali kejadian-kejadian penyitaan buku mengundang polemik tersendiri. Dengan keruhnya perbincangan di media massa dalam tahun politik ini, dapatkah kita menemukan titik terang mengenai fenomena penyitaan buku-buku berbau komunisme? Pada Jumat (01/02) lalu, Kolom Remaja berkesempatan menghadiri diskusi publik yang diadakan oleh KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang.” Diskusi ini mengulas fenomena penyitaan buku yang akhir-akhir ini kembali marak melalui kacamata politik, hukum dan HAM.
Apabila kita meninjau fenomena ini melalui perspektif hukum, penyitaan buku-buku tersebut memiliki kecacatan hukum yang mendasar. Setelah MK mengeluarkan Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010, penyitaan buku tidak lagi dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui proses pengadilan. Padahal, aparat TNI yang merupakan pelaku penyitaan dalam mayoritas kasus, seringkali melakukan penyitaan dengan cara melihat judul buku tanpa memeriksanya secara detail, sebagaimana diakui Brigjen TNI Sisriadi dalam acara televisi Mata Najwa (16/01). Maka, penyitaan buku-buku tersebut adalah perbuatan ilegal, apalagi jika dilakukan oleh aparat TNI, yang tidak punya wewenang pada wilayah sipil.
Namun, yang tak kalah penting dari dasar hukum penyitaan ini adalah dampaknya pada persepsi publik. Ketika kita mendengar kata “komunis” atau “PKI”, sebagian dari kita mungkin akan langsung menunjukkan rasa tidak suka, atau bahkan memberikan peringatan akan bahayanya yang laten. Siapapun yang membaca buku bersampul merah dan bergambar palu arit di tempat umum akan langsung mendapatkan tatapan-tatapan yang menghakimi dari segala penjuru. Hal ini menggambarkan seberapa dalamnya tertancap akar-akar ketakutan terhadap paham komunisme dalam pikiran masyarakat Indonesia pasca-Orde Baru.
Fenomena penyitaan buku-buku berhaluan kiri ini memperkuat rasa takut tersebut. Pemerintah, melalui penyitaan buku dan cara-cara lainnya, memperkuat citra bahwa komunisme dan PKI adalah musuh bersama rakyat Indonesia. Dengan memunculkan keresahan pada masyarakat yang berkutat pada “bangkitnya” PKI, pemerintah dapat membatasi kebebasan berekspresi rakyatnya dengan mengatasnamakan “pengamanan” dari komunisme atau PKI. Buku-buku disita, rumah-rumah digeledah, dan orang-orang ditahan atas tuduhan menyebarkan paham komunisme. Sejalan dengan langkah-langkah pembatasan kebebasan berekspresi lainnya, seperti UU ITE dan RUU Permusikan, pembatasan kebebasan berekspresi yang berdasarkan pada ketakutan terhadap PKI dapat digunakan pemerintah untuk membungkam suara-suara oposisi. Hal ini memungkinkan para politisi penguasa pemerintahan untuk menggunakan kekuasaannya seenak hati tanpa adanya kritik.Penggunaan PKI sebagai instrumen pembungkam suara perlawanan hanya dapat terjadi karena ketidaktahuan—atau malah ketidak-mau-tahuan—kita akan sejarah. Karena dengan itu, penggambaran apapun mengenai PKI oleh pemerintah akan kita terima mentah-mentah, dan digunakan sebagai alat untuk membatasi hak kita untuk berekspresi. Ketakutan tanpa pengetahuan terhadap PKI adalah warisan rezim Orde Baru yang sepertinya masih menghantui. Sekarang, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita mau membiarkan pemerintah menggunakan ketidaktahuan kita sebagai senjata untuk melawan rakyatnya sendiri?