Militer adalah sebuah faktor penting dalam sebuah negara, institusi ini mempunyai peran yang esensial dalam mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional. Namun demikian, di Indonesia, peran militer lebih besar dibandingkan dengan kebanyakan negara. Hal ini sebagian besar dikarenakan oleh program Dwi Fungsi ABRI yang diimplementasikan oleh Orde Baru. Walaupun Dwi Fungsi ABRI telah dihilangkan pada awal Era Reformasi, dampaknya masih terasa hingga hari ini.
Sebagai tradisi yang dibawa dari Orde Baru, tidak jarang pejabat tinggi militer yang menyebrang ke dunia politik. Karena dahulu memang mereka menjabat sebagai pejabat militer dan sipil. Kebiasaan lama memang sulit untuk dihilangkan, terutama kebiasaan lama yang mengandung unsur kekuasaan.
Pensiunan-pensiunan militer inilah yang sekarang menjadi aktor utama dalam panggung perpolitikan Indonesia. Dalam dua pemilihan umum terakhir, satu jenderal (purnawirawan) telah berdiri tinggi di antara pensiunan jendral lainnya. Ia adalah Prabowo Subianto, sebuah nama yang tidak lagi asing di telinga kita. Sosok ini dinilai banyak orang sebagai seseorang yang patriotis dan berjiwa ksatria, sebuah simbol daripada feodalisme yang masih kental di Indonesia, di mana seorang ksatria yang gagah berani dianggap sebagai sosok penyelamat bangsa. Di sisi lain, Prabowo dikenal sebagai figur yang kontroversial, seorang kriminal, bahkan. Bagi sebagian orang, ia adalah dalang Penculikan Aktivis dan salah satu yang “bermain” pada Kerusuhan 1998. Namun demikian, dentitas Tuan Subianto adalah sepenuhnya hak masyarakat untuk menilai, entah dia seorang penyelamat atau seorang penjahat, siapa tahu? Tidak pernah ada status resmi baginya. Bahkan jangan-jangan ia bukan keduanya.
Tetapi semua hal di atas dikesampingkan, Prabowo Subianto dan ambisinya telah membawa mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut menjadi seorang calon Presiden yang memiliki massa yang tidak sedikit. Pada pemilu 2019, Prabowo dan koalisinya telah mengumpulkan seluruh sumber daya yang mereka miliki untuk mencoba mengalahkan kubu petahana milik Jokowi dan rekan-rekannya. Salah satu “komoditas” daripada Pemilu di Indonesia yang bukan rahasia lagi adalah dukungan militer, atau setidaknya dukungan dari mereka yang pernah berkiprah di dunia militer.
Tentu slogan mengenai netralitas TNI-Polri tersebar di setiap pelosok markas institusi terkait, namun demikian banyak orang yang masih memetakan letak “kekuasaan” Jokowi dan Prabowo. Menurut pandangan kubu Prabowo misalnya, Polri sering dikatakan sebagai antek-antek daripada Jokowi dan TNI mendukung Prabowo. Atau setidaknya itu yang sering bermunculan di sosial media. Kebenaran dari pemetaan kekuasaan ini tidak akan pernah teruji, jadi tidak perlu diambil sebuah kesimpulan.
Namun lagi, netralitas mantan pejabat militer merupakan hal yang berbeda. Kembali diperjelas bahwa mantan pejabat militer di Indonesia memiliki kekuasaan yang besar, karena banyak dari mereka terjun ke politik, banyak dari mereka mempunyai pengaruh dalam institusi tertentu, memiliki aset yang signifikan, dan lain-lain.
Prabowo Subianto sendiri memiliki inventaris pendukung dari kalangan purnawirawan yang besar. Ada Kivlan Zen, purnawirawan Mayor Jenderal TNI AD, mantan Panglima Kostra yang sekarang sedang terkena kasus makar, lalu Gatot Nurmantyo, mantan Jenderal dan Panglima TNI yang namanya sedang naik daun, sampai duo SBY dan AHY, keduanya mantan perwira TNI AD, dan salah satunya adalah Presiden ke-6 RI (walaupun mereka setengah hati dan sekarang sedang berkelahi dengan koalisi). Jajaran nama dibelakang Prabowo berlanjut panjang. Setiap Jenderal di inventaris koalisi ini tentu harus menyesuaikan dengan politik identitas yang acap dijual oleh pihak ini. Agama Islam dan tentara lagi dibuat dekat dengan strategi yang dipasang mereka.
Di kubu Jokowi, terdapat pula mantan-mantan Jenderal yang tidak kalah besar dan kontroversialnya dengan Prabowo Subianto, ternama Wiranto, Hendropriyono, Luhut Binsar Panjaitan, dll atau yang biasa disebut dengan “komplotan jenderal istana”. Sebuah nama mencuat tinggi di antara mereka, Wiranto. Panglima Abri terakhir di masa Soeharto ini memang terkenal sekali sebagai “musuh bebuyutan” Prabowo, dia dan Prabowo lah yang disebut-sebut “berkelahi” pada akhir masa jabatan Soeharto. Cerita punya cerita, mereka ini dahulu bersaing untuk menjadi presiden setelah Soeharto turun. Prabowo merasa berhak karena dia merupakan putra mahkota dari rezim itu, sebagaimana ia telah menjadi suami dari Mbak Tutut, anak dari Soeharto. Di sisi lain, Wiranto juga ingin bersaing, toh dia adalah Pangabri. Alhasil, Jakartalah yang menjadi tempat di mana keduanya mengatur skema-skema mereka, berujung kepada kerusuhan 1998. Sampai sekarang masih belum ada yang tahu mengapa banyak yang membuat rusuh pada zaman itu “cepak-cepak”, konon katanya mereka adalah serdadu yang dikirim untuk membakar Jakarta. Namun lagi, rumor adalah rumor, dan ini bukanlah fakta yang diakui, melainkan cerita yang turun dari mulut ke mulut, jadi bukan sesuatu yang bisa menjadi acuan. Tetapi memang seru untuk diceritakan.
Pergelutan antara mantan Jenderal ini adalah polemik tersendiri bagi negara. Penghapusan Dwi Fungsi telah lama dilaksanakan, namun pengaruh tantara masih terasa kental di Pemilu sekarang ini. Masing-masing dari kubu memakai segala yang dimiliki untuk mencoba menjual diri sembari menjatuhkan lawan. Entah Prabowo yang tentu ingin menunjukan citranya sebagai ksatria Kopassus, atau Wiranto yang sibuk dengan kasus-kasus makar kubu Prabowo yang ditanganinya.
Hal ini mesti kita perhatikan dengan baik, mereka memang sudah sipil sekarang, namun sebuah hal yang kita tidak dapat tolak adalah bahwa mereka tidak sepenuhnya sipil. Jiwa korsa yang ditanamkan masih membara di dada mereka, sebuah itikad untuk menang dengan segala cara. Dalam satu sisi ini adalah hal yang baik, namun di sisi lain, hal ini dapat menimbulkan persaingan tidak sehat antara kubu politik. Permainan-permainan yang terlebih kotor dapat menjadi solusi yang dipilih, dan mereka tidak asing lagi dengan itu.
Ingat, Reformasi kita canangkan karena kita muak ditindas oleh mereka yang bersenjata. Memang berpolitik adalah hak segala individu, kita masih dapat berteriak sekarang. Namun apakah kita masih akan berteriak dengan sebuah bedil di kening ? Saya rasa tidak.