Menyudahi Pertikaian Kita

Dinamika bangsa kita belakangan tentu dipenuhi dengan tetek-bengek pemilu yang begitu menguras tenaga. Pemilu telah usai, namun nampaknya jurang perbedaan kita malah terlihat menjauh, pertikaian belum sama sekali usai.

Saya hendak memberikan beberapa poin pandangan saya untuk menanggapi keadaan kita hari ini, dengan harapan mampu mengalihkan tenaga kita pada hal-hal yang lebih bersifat produktif sekaligus upaya menyudahi pertikaian.

Kita punya common ground yang sama

Terlepas dari perbedaan yang kita temui hari ini, satu hal yang bersama kita sepakati : Kita mau Indonesia Maju dan Adil dan Makmur (dan segala kebaikan yang lain tentunya).

Sayangnya kita enggan mencari kesamaan, kita begitu disibukkan mencari siapa yang paling benar, siapa yang paling berhak duduk nun jauh di atas sana, dan dengan mati-matian mempertahankan hal-hal yang saya rasa tidak begitu substansial ini.

Bagaimana jika pembicaraan kita pasca-pemungutan suara hari ini, adalah dengan fokus berupaya bersama-sama mewujudkan harapan kita yang sama, berupa common ground yang sama?

Melihat dengan kacamata transaksional

Saya penggemar berat serial TV “Game of Thrones” salah satunya karena realitas ini :

Pencalonan membutuhkan sumber daya yang begitu besar, logistik, uang, dan tentu yang paling penting : suara. Maka tidak aneh apabila dibuat tim kampanye yang berisikan para orang partai, pengusaha dan tokoh-tokoh kharismatik yang “diharapkan” membawa sumber daya yang diharapkan.

Selanjutnya kita tahu, kursi menteri tidak jarang diberikan kepada para kader partai, kursi direksi diisi oleh mereka yang memberikan “modal” nya dalam rangka pemenangan.

Lantas saya berpikir, dibandingkan mereka yang akan mendapatkan “dampak signifikan” pada menang-tidak nya yang mereka dukung, apakah kita pantas bertikai sedemikian rupa?

Post-truth sebagai realitas kita hari ini

Penampilan komedian Inggris, Ricky Gervais bertajuk “Humanity” dengan penuh humor menunjukkan kepada kita betapa emosi berperan penting dalam menerima informasi, meminggirkan kemampuan akal sehat kita mengolah informasi. Fakta, yang diproduksi secara masal, barangkali mengeksploitasi realitas ini dengan mengaburkan makna kebenaran. Asal emosi memberikan persetujuan, ialah kebenaran.

Dimana keadaan saat ini penuh dengan klaim paling benar, kita tentu bisa bertanya : apakah ia memang kebenaran diatas fakta, ataukah perasaan yang membuat kita bertikai?

Berkasih sayang

Saya akan mengutip (semoga tidak salah) salah satu ucapan seorang yang bagi saya adalah seorang negarawan dan guru bangsa, yang kira-kira begini :

“Bagaimana aku mampu membenci Jokowi ketika begitu banyak saudaraku yang begitu mencintainya dan bagaimana aku mampu membenci Prabowo ketika begitu banyak saudaraku yang begitu mencintainya?” 

Saya kira ucapan Emha Ainun Nadjib ini tidak perlu saya berikan keterangan tambahan.

Menggenggam kedaulatan kita

Aspirasi begitu banyak dan sedemikian rupa terdifrensiasi untuk mampu diperjuangkan dalam ranah politik secara praktis, tak terkecuali aspirasi kita para pemilih. Akhirnya kita  hanya dihadapkan pada narasi-narasi yang tereduksi dan tidak sesuai ekspektasi kita. Bagi mereka yang kalah, harapan seketika hilang karena “sang pahlawan” tidak duduk memiliki jabatan.

Nasib adalah kesunyian masing-masing (Pemberian Tahu : 1946) Chairil Anwar, lewat sajaknya memberikan kita sebuah optimisme : karena nasib ada di tangan kita.

Demokrasi memberikan ruang kepada manusia secara setara untuk menyatakan pendapat, berserikat,  dan memperjuangkan kehendaknya. Aspirasi kita terlalu berharga untuk cuma kita titipkan pada yang kita pilih, ia selama ini  ada di genggaman kita.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *