Kaidah Berperilaku, Barat atau Timur?

Nampak dunia telah dibagi menjadi dua dengan kutub-kutub berlawanan dan berkontradiksi satu sama lain. Kata “Barat” atau “Timur” menjadi suatu blok raksasa yang membagi dunia ini dalam segala aspek. Walau lebih hangat jika membahas ideologi, mari membahas sebuah hal yang mendasar, sebuah kebudayaan dan hal yang berkorelasi langsung dengan budaya: perilaku. Tentu dengan sumber latar geografis yang terpisah garis bujur dunia, lahirlah sebuah etos perilaku dengan sifat dan karakter yang berbeda. Masing-masing blok tentu membanggakan kelebihan-kelebihan dari etosnya. Indonesia dan dunia tampak telah ditempatkan dalam arena adu pengaruh. 

Blok barat sangat mengglorifikasi etosnya. Dari pandangan mereka, sifat mereka kental akan kedinamisan, lincah pada dinamika. Bebas untuk menjadi diri sendiri, bebas untuk mengikuti kata hati. Maklum, produk unggul mereka ialah sebuah kebebasan pribadi. Mereka begitu bangga akan kebebasan berekspresi. Lebih pribadi tentu menjadi mandiri. Jiwa liberal menjadi jatidirinya. Demokrasi adalah santapan favoritnya.  Mereka menyematkan diri mereka sebuah label “terbuka” dan ”free thinker”. Sebab menurut mereka, itulah esensi manusia: bebas, mandiri, dan ekspresif.

Blok timur pun sama-sama menganggap diri mereka etos yang terbaik. Menurut mereka, Ketimuran sangat mengedepankan kekeluargaan dan kebudayaan beristiadat. Maklum, mereka hidup di letak geografis yang melahirkan pekerjaan agraria. Pekerjaan agraria sendiri akan lebih menguntungkan jika memiliki banyak sumber daya manusia. Lantas, dengan banyaknya manusia, mereka akan relatif lebih dekat dengan aspek berkeluarga dan lebih terikat dalam tali sosial. Dengan banyaknya interaksi, tentu budaya akan jauh lebih berkembang. Memegang teguh adat istiadat, hormat pada kaum tua, gotong royong adalah hasil mereka. Sebab menurut mereka, itulah esensi manusia: mahkluk bersosial dan beradat budaya.

Dalam dunia abad 21 ini, kita sudah menyaksikan bermacam-macam kontroversi ataupun gerakan-gerakan baru yang bersumber dari cara berperilaku barat dan timur ini. Gerakan femenisme radikal salah satu contohnya. Contoh buruk kebebasan berekspresi hasil dari kebudayaan barat menghasilkan perilaku yang ekstrim . Atau, child marriage, pernikahan anak, yang sekarang sangat kental dengan wilayah-wilayah Asia, negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan contohnya, yang sangat berkaitan pula dengan adat, budaya, atau pun agama. Hal itu juga berkaitan dengan budaya timur yang masih terikat pada adat istiadat. Dalam kasus ini, tradisi pernikahan usia dini.

Di Indonesia sendiri, jarang kedua etos ini akur dan berdamai. Jujur, dalam negara yang sangat berpegang teguh pada budaya timur, etos barat banyak dipandang sebagai sebuah ancaman, invasi (yang kadang katanya) mengancam norma, pancasila, maupun agama. Bahkan kata “barat” pun dijadikan senjata terhadap pihak oposisi yang tidak sepemikiran terhadap suatu pihak. Apapun yang berlawanan dengan pandangan umum masyarakat akan dicap barat, antek asing, dan sebagainya. Entah takut maupun tertutup, segala yang barat dipandang jahat absolut. 

Warga dunia sendiri tentu bebas memilih jati diri mana yang menjadi pegangan hidup. Entah juga silahkan memilih apa esensi dari manusia itu sendiri. Apakah mau memilih manusia bebas untuk ekspresif atau manusia yang memegang adat budaya, atau menjadi manusia yang menyeimbangkan kedua belah etos, pilihan ada di masing-masing individu. Yang selalu diajarkan kepada saya, bahkan kepada kita semua, ambil sisi postifnya dan buang sisi negatifnya. Namun, apakah definisi positif dan negatif itu sendiri dipengaruhi mata angin ini ?

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *