Ekspektasi vs Realita

Ada yang menarik dari garis grafik kehidupan yang menunjukkan harapan yang ada dalam setiap individu. 

Suatu saat grafik itu naik, terus meninggi. Si individu sedang punya harapan yang kian membesar. Entah terhadap apa, yang pasti hal itu cukup penting sampai bisa menggerakan garis dalam grafik terus mendaki. 

Lalu seakan garis itu kehilangan energinya, ia jatuh. Seakan lupa dengan usaha yang telah ditempuh sebelumnya, ia terus bergerak ke bawah, jatuh bebas. Apa yang telah terjadi? 

Mungkin garis yang menggambarkan harapan tadi akhirnya bertatap muka dengan sesuatu yang tak punya kepastian, realita. 

Realita tidak pernah tahu kerikil apa yang dihadapi si garis saat merangkak naik. Realita tak pernah acuh sebesar apa harapan si individu telah berkembang. Ia hadir sebagai bentuk suatu objektivitas. Tak mau tahu ia mematahkan sebuah harapan atau tidak.

Berkhayal, berharap, berekspektasi. Sadar atau tidak mereka hidup dalam diri kita, benak kita, pikiran kita. Hal mendasar yang kerap terlupakan, bahwa mereka bukan bagian dari realita, melainkan hanya suatu kemungkinan. 

Bukan haram memang untuk berekspektasi. Harapan penting agar kita selalu terpacu. Berusaha mewujudkannya, membawanya kepada bentuk realita. Namun selalu mengagungkannya, terlalu berharap, bisa menjadi bumerang sendiri bagi kita. Realita penuh dengan ketidakpastian dan banyak kemungkinan. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana suatu realita sampai ia benar-benar terjadi. 

Tak jarang kita larut dalam khayalan, harapan, dan ekspektasi yang kita buat sendiri. Terlalu egois, terus memaksa garis harapan itu naik. Untuk kemudian dikejutkan realita yang menyadarkan kita akan dunia nyata, bukan dunia dalam pikiran kita. 

Saat realita tak sesuai dengan apa yang diharapkan, seolah hancur tak berdaya, garis harapan jatuh. Harapan besar si individu telah patah oleh realita. Garis itu turun, layaknya semangat si individu melihat dunia nyata yang tak sesuai dengan dunia dalam pikirannya.

Lantas, salahkah realita? 

Realita tak pernah menyuruh individu berharap, apalagi menyuruh garis itu turun setelah bertemu dengannya. Realita hanya hadir, si individu balas bereaksi. Walau tak sesuai harapan yang telah berkembang, yang sudah diusahakan, tak ada yang mewajibkan garis itu menuruni medan yang telah didaki. Realita mungkin menyakitkan, bagi kita yang sudah berharap sedemikian rupa. Namun bersedih berlebihan, hilang semangat, putus asa, tidak akan merubah kenyataan. 

Sudah sifat alami grafik kehidupan seseorang akan fluktuatif. Kadang naik, kadang turun. Kadang kita berekspektasi, kadang kita harus menerima kenyataan. Kadang garis itu mendaki gunung harapan untuk menjemput realita, kadang garis itu mendaki untuk kemudian terjatuh dihadapi realita. Dan saat itu lah dimana realita menyuguhkan kita sebuah pilihan, terlena dan membiarkan garis itu terus bergerak ke bawah, atau bangkit dan membuat garis itu kembali mendaki gunung-gunung harapan selanjutnya. 

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *