Debat Perdana Pilpres 2019 (Terlalu Kompetitif Minim Substansi)

Kontestasi pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden tiba pada babak baru, pada hari Kamis, 17 Januari 2019, bertempat di Hotel Bidakara, kedua paslon saling berdebat. KPU memilih tema “Penegakan Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme” dalam pelaksanaan perdana debat Pilpres 2019.

Ada kesan bahwa proses berjalannya debat tidak mengalir dan terkesan dibuat-buat lantaran telah diberikannya list pertanyaan pada kedua paslon. Alhasil dengan mudah kita bisa melihat gimmick yang cukup membingungkan ketika moderator seakan memberikan pertanyaan “rahasia,” yang dijawab dengan…teks.

Diberikannya pertanyaan-pertanyaan ini juga tidak membuat kedua paslon memberikan jawaban yang konkret dan mendalam mengenai pertanyaan yang ada. Alih-alih menjelaskan paparan visi misi yang disampaikan di awal segmen tidak didukung dengan penjelasan komperhensif di segmen-segmen berikutnya.

Bergerak perlahan masuk ke tema debat, tidak banyak yang ditawarkan kedua paslon dalam menjawab persoalan selain secara normatif dan mengawang atau mengulang jargon Pilpres 2014 lalu.


Hanya kubu 01, lewat Joko Widodo yang tampil menyerang dan lebih tegang dari biasanya menawarkan gagasan baru berupa rencana dibuatnya Pusat Legislasi Nasional di bawah presiden, Ma’ruf Amin juga hanya terlihat berbicara banyak hanya ketika ditanya mengenai terorisme dan mengedepankan pengalamannya sebagai ketua MUI dan Rais Aam Syuriah PBNU. Satu yang pasti, keiritan Ma’ruf dalam mengambil porsi bicara menjadi bahan lelucuan pasca debat.

“Cukup.” ucap Ma’ruf ketika ditanya perihal waktu yang masih tersisa banyak.

Kubu seberang, yang dalam visi misi nya sangat menekankan isu ekonomi sebagai komoditas utama terlihat mengelaborasinya dengan tema debat kali ini, sekalipun tidak begitu korelatif. Bahkan barangkali jawaban untuk Penegakan Hukum, Korupsi, dan Terorisme, jawaban Prabowo dan Sandi hanya terpaku pada kesejahteraan rakyat. Hal-hal tahun 2014 semacam menaikkan gaji penegak hukum dan kepala daerah diangkat lagi oleh Prabowo dan pembenahan UMKM diberikan Sandi ketika ditanya mengenai isu HAM.

Kita malah banyak disuguhi retorika menyerang oleh Jokowi dan sekali-dua kali serangan Prabowo dalam sesi sesi saling tanya. Jokowi banyak menyerang kebijakan Prabowo sebagai ketua umum Partai Gerindra yang merekomendasikan enam napi eks-koruptor menjadi caleg (sekalipun Jokowi juga pernah setuju) dan rendahnya keterwakilan perempuan di tubuh partai. Sedang Prabowo terlihat menyerang Jokowi lewat “kriminalisasi” simpatisannya di Jawa Timur dan ketidaksinkronan antara Mendag, Mentan, dan Bulog perihal jumlah dan impor beras.


Pertanyaan-pertanyaan besar dan seringkali sensitif yang berkaitan dengan tema debat kali ini, sepertinya sengaja tidak disentuh oleh kedua paslon. Baik Jokowi misalnya, tidak bertanya mengenai tanggapan Prabowo mengenai penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu atau sentimen keagamaan yang seringkali menjadi komoditas utama partai pengusungnya, yakni PKS? Prabowo juga enggan bertanya mengenai penuntasan kasus penyiraman air keras pada penyidik KPK Novel Baswedan atau pertanggungjawaban konkrit Jokowi atas poin penuntasan kasus pelanggaran HAM di nawacita.

Alhasil, bagi saya, apa yang diharapkan melalui momentum debat perdana ini tidak mampu mempengaruhi para swing voters yang perlu digaet suaranya. Momen ini malah dijadikan sarana perang terbuka setelah sekian lama para simpatisan saling “bertarung” di dunia nyata maupun di dunia maya. Lalu kita kembali melihat aroma kompetisi yang begitu kuat ketika pernyataan penutup yang diharapkan berisikan kesejukan yang saling mengapresiasi masing-masing paslon yang digunakan sebagai sarana menjatuhkan dan meninggikan diri masing-masing paslon.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *