Bebasnya Ahok dan (Hampir Bebasnya) Abu Bakar Ba’asyir: Berbasis Kemanusiaan atau Politik?
Perhatian publik sempat terfokuskan pada rencana bebasnya Abu Bakar Ba’asyir—terpidana terorisme berumur 80 tahun—yang diumumkan oleh Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum pribadi Presiden Joko Widodo, pada 18 Januari lalu, enam hari sebelum pembebasan Basuki Tjahaja Purnama atau “Ahok”, seorang Kristen dan etnis Tionghoa yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta dan terpidana kasus penistaan agama. Abu Bakar Ba’asyir adalah pemimpin spritual Jemaah Islamiyah; kelompok Islamis radikal yang dituduh menjadi pelaksana Bom Bali I pada 2002 lalu. Ba’asyir divonis 15 tahun penjara pada 2011 setelah terbukti mendanai pelatihan paramiliter Jemaah Islamiyah. Sama-sama berkaitan dengan agama, Basuki Tjahaja Purnama, yang sekarang lebih nyaman dipanggil “BTP”, divonis 2 tahun setelah dianggap menistakan Alquran dalam salah satu video pidatonya di Kepulauan Seribu. Keduanya juga direncanakan untuk bebas pada waktu yang berdekatan, suatu kesamaan yang diduga oleh oposisi pemerintah dilakukan dengan perencanaan.
Pengumuman rencana pembebasan Ba’asyir menuai kontroversi. Kelompok pro-pemerintah menyatakan bahwa rencana pembebasan Ba’asyir berbasis kemanusiaan. Hal ini dikonfirmasi oleh Jokowi sendiri dalam pernyataannya pada Jumat (18/1), “Ya, yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan.” Australia melayangkan protes, mengingat 88 orang Australia meninggal pada pengeboman Bali tahun 2002, yang tak dihiraukan Indonesia. Protes juga datang dari dalam negeri; kebanyakan menitikberatkan pada proses hukum yang dianggap masih bercelah di sana-sini.
Beberapa kritik, dari dalam maupun luar negeri, merasa ada yang janggal dengan rencana pembebasan Ba’asyir—yang diumumkan tiga bulan sebelum Pemilu Presiden 2019. Guntur Romli, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang notabene adalah salah satu partai pendukung paslon Jokowi-Amin pada Pilpres 2019 nanti, menduga bahwa ada kaitan antara rencana pembebasan Ba’asyir dengan pembebasan BTP. Romli menduga bahwa alasan utama pembebasan Baasyir adalah kondisi kesehatannya yang menurun dan dikhawatirkan meninggal sebelum masa tahanannya selesai. Meninggalnya Ba’asyir dalam penjara dan bebasnya BTP dengan remisi yang disetujui oleh Presiden Jokowi dapat digunakan oleh pihak-pihak oposisi untuk memperkuat narasi bahwa Jokowi anti-Islam. Hal ini dapat membuatnya kehilangan suara para konservatif Islam, suara yang diduga dicoba diraih oleh Jokowi dengan memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presidennya. Dengan pupusnya harapan pembebasan awal Ba’asyir—setelah ia menolak menandatangani ikrar untuk setia pada Pancasila—muncul pertanyaan baru; langkah apa lagi yang akan diambil Jokowi untuk mengamankan kursi presiden pada Pemilu 2019?