“Ada peranan media sosial dalam polarisasi kita—namun bukan sepenuhnya salah mereka.”
Bukanlah sebuah kebetulan ketika membuka search engine seperti Google atau platform sharing seperti YouTube,kita direkomendasikan untuk log in dengan akun pribadi. Hasilnya, kira-kira menjadi privilise bagi kita : kita dianggap sebagai individu yang unik dengan feeds yang kita sukai.
Fenomena ini sejatinya adalah sebuah strategi untuk menjadikan kita semakin tidak beranjak—kita disajikan sesuatu yang kita mau, dan seringkali bukan apa yang kita butuhkan. Media sosial seperti Facebook dan Twitter malah bergerak lebih jauh : preferensi individu dijadikan sebagai basis rekomendasi pertemanan dan group. Alhasil kita berada dalam gelembung keseragaman preferensi (dan seringkali persepsi)—sebuah filter bubble.
Ketika kita berada di dalam sebuah gelembung keseragaman pandangan, maka akan timbul penguatan dan justifikasi yang cenderung seragam dan minim kontra-narasi. Mungkin menjadi sepele apabila penguatan ini hanya pada hal remeh temeh, seperti : “K-Pop keren!” atau “MU tim cupu.” Polarisasi yang ada dianggap wajar dan tidak substansial, namun bagaimana dengan permasalahan real publik yang memiliki peranan besar, seperti politik?
Kesempatan ini pun dianggap sebagai sebuah hal yang menguntungkan. Dikutip dari Katadata, Presiden AS, Donald Trump menghabiskan Rp 3,9 M dalam tiga bulan untuk iklan kampanye di Facebook. Di Indonesia, mudah kita temui para buzzer absurd di feeds media sosial kita. Barangkali yang lebih dekat, pertikaian yang berujung left group keluarga besar di WA atau unfriend dan unfollow di media sosial menjadi hal yang biasa.
Dalam sebuah sesi panel di TED Talks, Eli Pariser memperlihatkan pergeseran sumber arus informasi utama yang pada awal abad ke-20 dimiliki pers lewat surat kabar (lalu televisi) kepada media sosial. Baginya, hal ini melahirkan sebuah problematika besar, ketika proses arus informasi yang tadinya mampu diatur dengan etika jurnalisme, menjadi perihal yang jauh lebih kompleks ketika berada pada tangan algoritma media sosial.
Sejalan dengan permasalahan yang kompleks ini, solusi yang diperlukan pun bukanlah perkara mudah. Eksperimen di Vox menunjukkan signifikansi polarisasi tidak berubah drastis ketika kita mencoba keluar dari filter bubble (meskipun dengan sedikit kontra-narasi yang berakhir pada perilaku defensif masing-masing). Fenomena ini akhirnya memaksa kita untuk sejenak melupakan peran kemajuan teknologi—memaksa kita untuk membongkar kembali dinding-dinding humanistik kita yang (terlanjur) telah bias dan tidak mau salah.
Jadi, bagaimana kita mampu—berperilaku di dunia nyata dan dunia maya—sebagai seorang moderat yang objektif dan rasional? Saya kira untuk menyikapi realitas yang begitu dekat ini, pertanyaan itu sudah menjawab dengan sendirinya.