Ageisme Kepada Orang (Yang Lebih) Muda: Senioritas Tanpa Batas

Senioritas adalah suatu hal yang  kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari instansi pendidikan sampai ke dunia kerja, bahkan dalam lingkungan keluarga, senioritas itu ada. Entah mungin dilakukan oleh kakak kelas kepada adik kelas, atau kakak kepada adik, presensi senioritas itu nyata.

Secara tidak sadar, senioritas ini akan membuahkan sebuah tindakan bernama ageisme. Ageisme secara umum adalah perlakuan diskriminatif berdasarkan umur. Ageisme sendiri sebenarnya sudah pernah dibahas dalam suatu channel youtube Remotivi yang berjudul “#Ageisme – Diskriminasi Usia, Emang Ada? “. Dalam ulasan Remotivi yang menggunakan contoh talkshow Rosi bersama Gustika Jusuf, cucu Bung Hatta, disebutkan  bahwa anak muda cenderung diremehkan dan pemikirannya diragukan. Mereka juga memberi istilah “ngemong” kepada anak muda, yaitu naif dan harus selalu dibimbing dewasa. Semua itu disebabkan oleh bias produktifitas dimana pada usia mereka yang dianggap tidak produktif dalam segi ekonomi. Remotivi telah mengupas ageisme dewasa terhadap remaja dan lansia. Menurut saya, ageisme tidak selalu dilakukan oleh orang yang berumur dewasa, ageisme juga bisa dilakukan oleh orang yang lebih tua, dalam bentuk senioritas.

Contoh lainnya yang mungkin tidak terlalu populer adalah lingkungan rumah, lebih jelasnya: keluarga. Ageisme senioritas dalam lingkungan keluarga lazimnya terjadi kepada anak atau saudara yang paling muda. Saudara kandung yang lebih tua akan merasa lebih senior dibanding saudara muda dan meremehkan mereka. Bahkan, orangtua pun juga bisa sebagai perilaku ageime dan senioritas. Contoh perilaku orangtua adalah Helicopter parenting. Menurut Jill Weber, helicopter parenting adalah cara asuh orangtua yang terlalu mengganggu mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas pilihan dan perilaku anak mereka. Saya memasukan helicopter parenting sebagai contoh agesime orangtua kepada anak karena dalam helicopter parenting, orangtua merasa bahwa anaknya belum berpengalaman dan takut anaknya mengalami kegagalan di masa depan. Mereka tidak mempercayai kemampuan anaknya dalam mengarungi dunia. Oleh karena itu, merasa berhak menjadi penentu keputusan sang anak.           

Tindak tanduk senioritasme dan ageisme di Indonesia memanglah kental. Maklum, Indonesia memiliki kebudayaan timur, dimana kita harus “tunduk” menghormati orang yang lebih tua. Dalam sekolah, dalam kuliah, “hormati kami!” lazim digaungkan. Namun, apakah masih relevan dengan perkembangan zaman? Atau hanya sebagai tradisi sebagai pemenuhan ego diri?

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *